Putus cinta perlu obat dan olahraga. Obatnya melupakan. Olahraganya berburu pasangan baru.
—
TELAH jumpa di nikahan Tingting Bocah, mengapa, oh, mengapa Pendekar Bra tak sekalian menantang tarung ayah angkatnya: Pendekar Sastrajendra, mantan kekasih Tingting Jahe? Bukankah Sastrajendra-lah yang selama ini ia buru bersama si Jahe kekasihnya kini?
Aduh! Kalian bagaimana, to? Ini, kan, zaman Candi Borobudur belum ada. Gunung Merapi tampaknya juga belum eksis. Belum ada fotografi. Mereka yang tidak pernah bertatap muka dengan pendekar kondang pasti hanya tahu namanya, gelap rupanya.
Lebih-lebih, selain menyamarkan nama Sastrajendra menjadi Jenderal Astras, badan si pendekar gaek itu sendiri sudah menyamar. Otot-ototnya sudah bukan pendekar banget. Setelah mencari-cari Tingting Jahe ke berbagai pulau, ia memutuskan ini nusa terakhirnya.
Di nusa bersawah-ladang itu tak henti-henti kicau nuri, parkit, dan jalak Bali, eh, Bali belum ada, ding. Jalak saja. Di sana Jenderal Astras ingin berhenti menjadi pendekar. Keinginannya malah sudah bertahap-tahap kesampaian. Kehidupan manusia normal seperti petani lebih menggiurkan. Ia bahkan memohon putri angkatnya, Tingting Bocah, untuk bersuami orang biasa-biasa saja. Orang yang, jangankan jurus-jurus, ilmu kuda-kuda saja tak punya. Percuma dunia dipadati orang berilmu bila ketidakadilan makin beranak pinak.
Putri kandung Pendekar Elang Langlang Jagad itu manut ayah angkatnya. Calon suaminya seorang pembajak sawah. Jalak dan srigunting kesayangannya selalu menclok di tanduk kerbaunya. Ia berhak tinggal diam atas rontoknya banyak etika dan makin menganganya jurang kehidupan si kaya dan si miskin. Toh, ia memang orang yang tak berilmu.
Paling-paling, tentang barter yang kian tak setimpal di zaman sebelum dikenal nilai tukar uang itu bujangan tersebut hanya curhat. Curhatnya ke jalak di ujung tanduk kerbaunya. Paling-paling, tentang ketidakadilan yang turut melahirkan terorisme di pulaunya, taruna ini cuma curhat pada srigunting di ujung tanduk kerbaunya. Keduanya paling-paling cuma ketawa-ketawa dan mengajak bermusyawarah dalam bahasa burung.
Hacob Ngiting, samaran Tingting Bocah, bahkan tak tahu nama pemuda dalam musyawarah burung itu.
”Nama calonmu?” ayah angkatnya mengernyit sambil kagok-kagok menganyam tikar pandan, kerajinan yang dulu pernah digelutinya sebelum move on ke dunia persilatan.
”Hmmm… Sebut saja dia Prabu Baladewa.”
Jenderal Astras langsung tanggap. Ini pertanda calon suaminya adalah tukang bajak sawah maupun ladang. Ia tahu, Raja Mandura itu bersenjata andalan, Nenggala, yang bermata bajak. Di antara ocehan parkit-parkit malam hari yang mungkin pada ngelindur dan gundah, Jenderal Astras mendekap Hacob Ngiting. Ia belai-belai rambut putri penurutnya ini.
*
Herankah kalian bila Hacob Ngiting terkaget-kaget saat calon suaminya ternyata mahir silat buat penantangnya? Ia ladeni sebayanya yang bermuka seperti rupa-rupa dari alam takhayul itu, yang ngarep Hacob Ngiting jadi istrinya? Lebih terkejut lagi Hacob Ngiting tatkala calon suaminya menampik bantuan keluarga besarnya.
”Kalian semua mundur!” serunya. Keluarga dari pihak calon mempelai putri tak usah dimintanya mundur. Mereka, cuma Jenderal Astras dan Hacob Ngiting, memang sudah mengunduri dunia persilatan.
Kongres luar biasa dari Partai Orang Biasa, katakanlah demikian, yang diikuti cuma oleh dua orang, yakni Jenderal Astras dan Hacob Ngiting, telah membaiat keduanya menjadi ketua dan wakil ketua Partai Orang Biasa. Tanpa harus menunggu dulu keputusan adat tentang sah atau tidaknya mereka jadi orang biasa, etisnya mereka sudah harus mundur dari dunia persilatan. Kalau ternyata tidak sah, mereka tak jadi mundur? Tidak. Mereka sudah mundur. Etika jenis ini masih dijunjung tinggi pada masa sebelum ada Borobudur.
Tapi, orang-orang dunia persilatan tetaplah orang-orang dunia persilatan. Sudah mundur atau belum. Semakin pertarungan berlanjut, semakin Hacob Ngiting menyadari keajaiban. Calon suaminya mendapat transfer ilmu silat dari saksi nikah, Pendekar Bra, yang sudah bergeser tempat. Ia bergabung dengan pemusik.
Tidak. Ia tidak bermain musik. Kelihatannya saja Pendekar Bra solider menabuhi tambur pertarungan. Kelihatannya saja pendekar yang kelak mirip pebola Ibrahimovic itu bergabung dengan para pengamen pantai yang pertama menyambutnya saat sampannya bersandar ke pulau ini, para pemuda gondrong-lusuh yang sekarang klimis-klimis menjadi pengisi acara mantenan. Ia menabuh tambur untuk menyalurkan ilmu silat!
Canggihnya, ilmu itu tak ia transfer sekaligus. Tahap-tahap transferannya sesuai kebutuhan, tak seperti transferan ortu pada anaknya yang sedang kuliah di zamanmu. Sering berlebihan atau justru kekurangan. Penantang mengeluarkan jurus level ban hijau, transferan Pendekar Bra ya selevel itu. Begitu pula saat penantang mulai mengeluarkan jurus level ban cokelat dan seterusnya. Ending pertarungan itu sampyuh. Keduanya mogobothongo, sama-sama binasa.
Inilah yang menyebabkan Hacob Ngiting terkiul-kiul pada Pendekar Bra. Ia mengintili Bra hingga ke huniannya bersama sang kekasih, Tingting Jahe. Jahe tercengang menatap kemunculan Hacob Ngiting yang telah lama dikenalnya sebagai Tinging Bocah, anak angkat mantan kekasihnya, Pendekar Sastrajendra. Datang seekor monyet yang pernah ”diusir” Sastrajendra. Hap! Lalu? (*)
SUJIWO TEJO
Tinggal di Twitter @sudjiwotedjo dan Instagram @president_jancukers
Saksikan video menarik berikut ini:
Luar Biasanya Partai Orang Biasa - JawaPos
Ngelanjutin Artikel nya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar