JAKARTA, investor.id – Rancangan regulasi kebijakan tax amnesty yang diinginkan Presiden Joko Widodo segera dibahas pemerintah bersama DPR. Banyak kalangan pengusaha, DPR, hingga ekonom menyambut positif, apalagi pengampunan pajak sebenarnya sudah biasa dilakukan pemerintah daerah dan diterima baik oleh masyarakat, seperti pemutihan pajak kendaraan bermotor dan diskon pembayaran PBB.
Regulasi mengenai tax amnesty kemungkinan akan dibahas DPR bersama pemerintah lewat amandemen RUU tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP). Surat presiden (surpres) untuk membahas amandemen RUU KUP itu sudah diterima pimpinan DPR RI.
Demikian benang merah keterangan Wakil Ketua Komisi XI DPR Dito Ganinduto, Anggota Komisi XI DPR M Misbakhun, Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Ajib Hamdani, Ekonom Ryan Kiryanto, serta Wakil Ketua DPR RI Bidang Ekonomi dan Keuangan Sufmi Dasco Ahmad. Mereka memberikan keterangan kepada Investor Daily, pada Selasa (25/5) dan Rabu (26/5).
“Surpres untuk membahas amandemen RUU KUP sudah di pimpinan DPR RI. Yang ada baru surpresnya saja, belum ada draf RUU KUP yang diajukan. Saya setuju dengan rencana tax amnesty yang diajukan oleh Bapak Presiden. Soal posisi ada di UU mana, karena RUU itu inisiatif pemerintah, maka kita tunggu draf RUU-nya masuk ke DPR RI,” kata Misbakhun.
Dito juga menjelaskan, supres mengenai RUU KUP sudah dikirim Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke DPR. Namun, drafnya belum diberikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, sehingga Dito belum bisa menyatakan pandangannya mengenai materi usulan pemerintah untuk tujuan peningkatan kepatuhan pajak itu.
“Supres KUP sudah dikirim ke DPR, nanti rapat Bamus akan memberikan penugasan dan karena soal keuangan ya ke Komisi XI, kemudian dibentuk Panja. Nanti dibahas bersama pemerintah, yang akan menunjuk siapa yang terlibat pembahasan. Kalau sudah terima draf, kami akan pelajari dan prosesnya transparan, termasuk mendengarkan masukan dari pengusaha,” papar Dito.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Kemenkeu Yon Arsal mengatakan, DPR akan segera melakukan pembahasan mengenai tax amnesty.
“Mengenai pertanyaan KUP, UU tax amnesty, dan sebagainya, mengingat pembahasan juga akan segera dilakukan di DPR, kami akan segera update pada waktu nanti pembahasan RUU dengan DPR. Kemarin Bu Menteri Keuangan pada raker Komisi XI sudah menyampaikan pokok-pokok perubahannya. Itu cukup jadi bahan awal bagi teman-teman sebagai gambaran awal. Karena tadi pertanyaannya sangat rinci seperti tarif dan sebagainya, maka akan kami bahas pada saat berbarengan dengan pembahasan di DPR,” kata Yon dalam keterangan kepada pers secara virtual, Selasa (25/5).
Menambah Likuiditas
Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan BPP Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Ajib Hamdani mengatakan, tax amnesty atau pengampunan pajak merupakan kebijakan pemerintah yang layak dilanjutkan. Kebijakan tax amnesty tidak perlu dipolitisasi atau menimbulkan kegaduhan, apalagi juga sudah biasa dilakukan oleh pemda selama ini.
“Kebijakan tax amnesty sebenarnya juga sering diberikan oleh pemerintah daerah untuk konteks pajak daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), pemda tingkat I dan II yang mengelola pajak daerah memberikan pengampunan. Tax amnesty di tingkat daerah misalnya pemutihan pajak kendaraan bermotor, diskon pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan, dan lain-lain,” kata Ajib.
Ajib mengatakan, meski memicu pro-kontra di tingkat nasional, tax amnesty jilid II menjadi sebuah alternatif kebijakan yang layak dilanjutkan. Kebijakan ini akan mendorong ekonomi dalam negeri.
Menurut Ajib, secara ekonomi maupun politik, Indonesia membutuhkan semua instrumen kebijakan yang bisa menambah, mendongkrak, dan menambal kebutuhan untuk mendorong pemulihan perekonomian nasional. Apalagi, dari sudut pandang keuangan negara, pada tahun 2020 terjadi defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang mencapai sekitar 6,1% dari produk domestik bruto (PDB).
Sementara itu, Anggota DPR Sari Yuliati saat membacakan pandangan fraksinya terhadap Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM dan PPKF) RAPBN Tahun Anggaran 2022 di Jakarta, Selasa (25/5/2021), mengatakan, pemerintah mengusulkan defisit tahun depan sekitar 4,51-4,85% PDB. Defisit lebih rendah dari defisit 2021 yang sebesar 5,7% PDB.
Ajib mengatakan lebih lanjut, tahun 2022 merupakan tahun terakhir pemerintah bisa memanfaatkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 yang memungkinkan defisit APBN di atas 3% PDB. “Jadi, tahun 2023, keuangan negara kembali maksimal hanya bisa defisit 3% dari PDB. Jadi, dibutuhkan kebijakan terobosan untuk bisa membuat tren penurunan defisit, baik secara kebijakan ekonomi maupun kebijakan politik," kata Ajib dalam keterangan resmi yang diterima pada Selasa (25/5).
Dia melanjutkan, tax amnesty juga bisa menjadi jalan masuknya lebih banyak likuiditas, mengalir di masyarakat. Likuiditas ini diperlukan untuk mendorong permintaan domestik terhadap produk dan jasa yang dihasilkan pengusaha di dalam negeri. Ini diharapkan mendorong perekonomian bergerak naik dengan cepat, setelah terkontraksi karena terdampak pandemi Covid-19.
"Pada tax amnesty jilid I, kan terjadi dana repatriasi sebesar Rp 147 triliun, dan deklarasi harta sebesar Rp 4.813,4 triliun. Dengan persiapan yang lebih matang, tax amnesty jilid II akan mendapatkan hasil yang lebih maksimal," kata Ajib.
Menurut Ajib, utang pajak yang muncul belum tentu disebabkan oleh kesalahan wajib pajak yang mangkir. Bisa jadi wajib pajak berutang dengan alasan yang lebih kompleks. Di sisi lain, tax amnesty bisa dinilai berpotensi membebani otoritas pajak, lantaran penagihan piutang pajak menjadi salah satu indikator kesuksesan pengelolaan keuangan negara.
“Bisa berutang itu dengan alasan yang lebih kompleks, misalnya karena wajib pajak belum menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan tidak memungut PPN, tetapi mereka ditetapkan secara jabatan dan kemudian harus membayar semua kewajiban PPN-nya. Padahal, mereka tidak memungut, tetapi mereka harus setor, ini adalah sekedar salah satu contoh, dari banyak latar belakang yang lain. Dalam kondisi seperti ini, dibutuhkan jalan tengah, misalnya ada pengurangan sanksi atau potongan pokok pajak," kata Ajib.
Meningkatkan Penerimaan Negara
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memberikan sinyal bahwa pemerintah akan kembali melakukan pengampunan pajak atau tax amnesty (TA). Airlangga mengatakan, rencana tax amnesty itu akan masuk dalam pembahasan revisi Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan.
Menko Perekonomian membocorkan sejumlah poin yang akan dimasukkan dalam RUU tentang Perubahan Kelima atas UU No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Ia menjelaskan, revisi dalam RUU KUP nantinya mencakup sejumlah aturan perpajakan mulai dari Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), cukai, hingga pengampunan pajak.
“Itu yang diatur memang ada di dalamnya PPh orang per orang, pengurangan tarif PPh badan, PPN barang atau jasa, PPnBM, UU Cukai, carbon tax, lalu ada terkait dengan pengampunan pajak. Hasilnya kita tunggu pembahasan dengan DPR,” ujar Airlangga dalam Halal Bihalal dengan Media, Rabu (19/5).
Ia enggan menjelaskan lebih rinci, namun memastikan pemerintah masih menunggu pembahasan revisi UU KUP bersama DPR. Presiden Jokowi juga sudah berkirim surat ke DPR RI dengan tujuan agar beleid tersebut segera dibahas.
Wacana melaksanakan tax amnesty ini kembali bergulir di tengah terjadinya pandemi Covid-19. Penerapan TA dinilai bisa mendorong penerimaan negara yang terus tertekan akibat pandemi, sehingga defisit APBN tidak melebar.
Sebelumnya, tax amnesty pertama kali diselenggarakan pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla tahun 2016-2017. Hal itu dilaksanakan lewat Undang Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. UU tax amnesty itu menerangkan, tujuan TA untuk meningkatkan penerimaan negara dan pertumbuhan ekonomi.
Realisasi Tax Amnesty
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, pada 2016-2017, pemerintah memberikan fasilitas tax amnesty kepada 972.530 peserta (wajib pajak/WP). Tax amnesty dibagi dalam tiga periode. Periode I berlaku 28 Juni−30 September 2016, periode II berlaku 1 Oktober−31 Desember 2016, dan periode III berlaku 1 Januari−31 Maret 2017.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu, realisasi deklarasi harta selama diberlakukan tax amnesty mencapai Rp 4.707 triliun dari target Rp 4.000 triliun, atau terealisasi 117,67%. Sedangkan realisasi penarikan dana luar negeri (repatriasi) hanya Rp 147 triliun atau 14,7% dari target Rp 1.000 triliun. Sedangkan penerimaan negara sekitar Rp 135 triliun dari program pengampunan pajak, dari target pemerintah Rp 165 triliun.
Sementara itu, menurut Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati awal pekan ini, pemerintah tidak akan mengeluarkan fasilitas pengampunan pajak seperti yang diberikan pada 2016-2017. Namun, lanjut dia, reformasi perpajakan yang sedang dilakukan pemerintah saat ini bakal mendukung dan menindaklanjuti tax amnesty 4-5 tahun lalu.
Menkeu mengatakan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak telah memuat sejumlah rambu mengenai upaya mendorong kepatuhan para wajib pajak setelah program tax amnesty 2016-2017 berakhir. “Untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, kita sudah ada di tax amnesty waktu itu (2016-2017),” tutur Menkeu dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Senin (24/5).
Di sisi lain, pemerintah tengah gencar melakukan reformasi perpajakan untuk mengejar target penerimaan perpajakan tahun 2022 yang berkisar Rp 1.499,3 triliun hingga Rp 1.528,7 triliun. Pada angka estimasi tertinggi, target tersebut naik 5,8% dari tahun ini sekitar Rp 1.444,5 triliun.
Menkeu menjelaskan, dari pelaksanaan tax amnesty 2016-2017, pemerintah memperoleh data Automatic Exchange of Information (AEoI) dan akses informasi WP sejak 2018. Dari data pajak tersebut, pemerintah akan menindaklanjuti kepatuhan pajak para WP peserta tax amnesty 4-5 tahun silam.
“Sebetulnya dari tax amnesty sudah ada rambu-rambu mengenai compliance yang harus kami lakukan. Sampai hari ini, kami tetap mendapatkan data AEoI dan akses informasi untuk tahun 2018 terhadap beberapa ribu WP. Kami akan follow-up dan kami pasti akan menggunakan pasal-pasal dalam ketentuan tax amnesty,” papar dia.
Menkeu menegaskan, pemerintah akan fokus meningkatkan kepatuhan pajak, tanpa menciptakan rasa ketidakadilan. Hal ini akan terus dijaga dalam kerangka tax amnesty. “Ini kami jaga dalam kerangka tax amnesty atau dari sisi compliance facility yang kami berikan, sehingga masyarakat memiliki pilihan agar mereka lebih patuh,” ujar dia.
Menkeu juga meminta dukungan kepada DPR untuk mempermudah administrasi perpajakan. Untuk itu, kata dia, program yang akan diusulkan lebih mengarah pada penghentian tuntutan pidana menjadi pembayaran sanksi administrasi. Menurut Menkeu, reformasi perpajakan tidak sekadar mengumpulkan penerimaan pajak, melainkan membuat APBN terus berkelanjutan dan menjaganya secara prudent di tengah tantangan pandemi Covid-19.
PDIP Ajak Pemerintah Diskusi
Pada kesempatan terpisah, Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Bambang Wuryanto mengatakan, pihaknya memiliki formula khusus terkait reformasi sistem perpajakan demi menambal bolong fiskal negara, yang agak berbeda dengan usulan pemerintah. PDIP, lanjut dia, tidak menyatakan setuju ataupun menolak ide-ide pemerintah terkait reformasi sistem perpajakan.
Sejumlah ide terkait perpajakan yang diajukan pemerintah antara lain pelaksanaan pengampunan pajak, menaikkan Pajak Pertambahan Nilai, hingga kenaikan Pajak Penghasilan. Rencananya, orang yang berpendapatan di atas Rp 5 miliar setahun akan dikenakan PPh hingga 35%.
Ia memaparkan lebih lanjut, PDIP memilih agar sebelum diambil keputusan setuju atau menolak ide pemerintah, perlu dilaksanakan diskusi dengan para ahli serta stakeholder terkait.
“Atas arahan ketua DPR, kami akan konsentrasi agar mendapat perhatian jauh lebih khusus, kita akan diskusi dengan baik di rapat komisi, beberapa titik kami cermati nanti. Kami memilih untuk berdiskusi dulu dengan pemerintah maupun fraksi lain di DPR mengenai ide-ide yang ada, baik usulan pemerintah maupun dari partai nantinya," papar Bambang dalam rapat paripurna DPR, Selasa (25/5/2021).
Tambah Utang Mematik Kritik
Ekonom Ryan Kiryanto mengatakan, dengan adanya program pengampunan pajak diharapkan meningkatkan kepatuhan wajib pajak, menambah jumlah wajib pajak potensial yang tadinya belum punya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan berujung pada kenaikan penerimaan negara. Program amnesti pajak ini perlu dilakukan dengan kajian yang saksama dengan melibatkan unsur pemerintah, dunia usaha, serta akademisi, sehingga bisa mendapatkan dukungan publik. Sosialisasi dan diseminasi ke masyarakat juga perlu dirancang dengan baik dan sistematis, supaya direspons positif.
Kebijakan ini juga memerlukan dukungan politis dari DPR mengingat masalah pajak terkait dengan keputusan politik yang harus mendapat persetujuan dari parlemen.
"Paling terakhir, perlu dimatangkan timing pelaksanaan amnesti pajak, mengingat fokus semua pihak saat ini pada penanganan pandemi Covid-19. Bagi penerimaan negara, ya tentu berdampak baik karena sisi fiskal menjadi lebih kuat dan sehat. Sisi fiskal bisa saja diperkuat dari sumber pinjaman atau utang, tetapi langkah ini biasanya akan mendapat sorotan tajam dan memantik kritik dari publik," ucap Ryan saat dihubungi pada Rabu (26/5).
Rapat Bamus Pekan Depan
Sementara itu, Ketua Badan Anggaran (Banggar) sekaligus Anggota Komisi XI DPR RI Said Abdullah mengungkapkan revisi Undang Undang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan telah ditetapkan sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021. Sebelum pembahasan RUU KUP ini, DPR harus melakukan rapat Badan Musyawarah (Bamus) terlebih dahulu, yang rencananya diselenggarakan pekan depan.
Melalui pembahasan di Bamus, akan ditentukan apakah revisi UU KUP akan dibahas di Komisi XI atau panitia khusus. “Pembahasan revisi UU KUP belum bisa dilakukan karena harus menunggu pembahasan di Bamus, dan kalau ada pembahasan di Bamus baru dibawa ke paripurna. Sampai saat ini menunggu rapat Bamus minggu depan,” katanya kepada Investor Daily, Selasa (25/5).
Secara substansi, papar dia, Rancangan Undang-Undang Perubahan Kelima atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan akan mengandung banyak perundang-undangan seperti UU PPh, UU PPN, hingga UU Pengampunan Pajak. Menurut Said, pihaknya belum menerima surat presiden (surpres) terkait usulan draf RUU KUP itu.
Sedangkan Wakil Ketua DPR RI Bidang Ekonomi dan Keuangan Sufmi Dasco Ahmad menjelaskan tahapan dalam pembahasan RUU KUP. Pertama, apabila supres sudah sampai di DPR, maka akan dilakukan pembahasan pada rapat pimpinan untuk selanjutnya dibawa ke Badan Musyawarah.
“Kemudian Bamus akan menugaskan komisi teknis terkait untuk membahas RUU KUP tersebut,” tuturnya dalam keterangan tertulis.
Mengenai wacana kebijakan tax amnesty jilid II, lanjut dia, tentu DPR akan mengkaji dan membahas secara lebih detail di komisi teknis terkait, yaitu Komisi XI DPR, bersama pemerintah. Selain itu, DPR akan mendengarkan masukan dari akademisi, pengusaha, pegiat UMKM, masyarakat lainnya, dan memperhatikan beberapa catatan evaluasi pada pelaksanaan tax amnesty tahun 2016-2017.
Apindo: Tarif Dibedakan
Pada kesempatan terpisah, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan mendukung TA jilid II. Progam tersebut dinilai akan meningkatkan penerimaan negara dari sisi pajak. Hanya saja, pemerintah diminta lebih aktif mendorong perluasan wajib pajak yang selama ini belum tersentuh.
Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani menegaskan, progam tersebut bagus karena juga memberi kesempatan bagi yang belum ikut pada progam tax amnesty pertama. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah tarif tebusan dan ketentuannya seperti apa. Dia mengatakan, bila tarifnya dipandang kompetitif atau cukup terjangkau, maka orang akan tertarik ikut. Tarif tebusan TA pertama, lanjut dia, sekitar 2-5%, maka itu untuk yang jilid kedua seharusnya lebih tinggi.
Menurut Haryadi, mayoritas dunia usaha sudah ikut tax amnesty yang pertama, sehingga sebagian tidak mungkin ikut untuk yang kedua. Itu karena mereka yang ikut sudah melaporkan semua harta kekayaannya dan jaraknya dengan yang kedua ini juga tidak jauh.
“Sepanjang ada yang memerlukan tax amnesty II seharusnya tidak masalah. Progam tersebut memberikan kesempatan bagi mereka yang belum ikut untuk masuk ke dalam sistem, dan memberikan data wajib pajak kepada negara. Ini kan lebih bagus. Kalau dilihat dari sisi keadilan, ya dari tarifnya yang akan membedakan. Semakin banyak yang mendeklarasi hartanya kan lebih bagus,” ucap dia kepada Investor Daily, Jakarta, Rabu (26/5). (ark/leo/ns/ac/b1)
Editor : Esther Nuky (esther@investor.co.id)
Sumber : Investor Daily
Sudah Biasa Diberikan Pemda, Tax Amnesty Nasional Segera Dibahas DPR - Investor Daily
Ngelanjutin Artikel nya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar