Situasi ruang saluran siaga (hotline) milik BPBD DIY, Minggu (25/7/2021) - (SuaraJogja.id/Hiskia Andika)
Seringkali waktu-waktu yang kritis bagi pasien Covid-19 adalah sore menjelang petang.
SuaraJogja.id - Tim Reaksi Cepat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memang sudah membuka saluran siaga (hotline) sejak beberapa waktu lalu. Hal tersebut guna membantu percepatan penanganan pasien Covid-19 yang memang harus segera membutuhkan pertolongan.
Namun hampir sebulan berlalu ada yang tidak biasa dari sambungan hotline milik TRC BPBD DIY tersebut. Panggilan telepon di saluran siaga itu berdering tak henti-henti khususnya jelang hari memasuki waktu petang.
Hal ini disampaikan oleh Wakil Komandan TRC BPBD DIY Indrayanto. Menurutnya hal ini menjadi sebuah keanehan yang belum pernah dialami sebelumnya.
"Mulai sekitar Juni tanggal 18 lah kalau tidak salah. Kami coba amati dari hotline terutama, kalau sore kok ramai dan kebutuhannya pasti itu, pasti emergensi. Sebelumnya nggak pernah sama sekali," kata Indra kepada awak media, Minggu (25/7/2021).
Baca Juga: Pernyataan Sikap UGM, Fokus Kuatkan Solidaritas dan Gotong Royong Hadapi Pandemi Covid-19
Indra menjelaskan ada sekitar delapan line saluran siaga yang siap menerima panggilan emergensi tersebut. Namun ketika waktu mulai memasuki sore menjelang petang semua saluran siaga itu mulai berdering bersahut-sahutan.
Penelepon tidak lain adalah kerabat atau malah anggota keluarga pasien Covid-19 yang tengah menjalani masa isolasi mandiri. Kondisi pasien yang mulai menurun secara drastis menjadi alasan mereka berada di sambung telepon itu.
"Sore itulah telepon hotline akan mulai banyak. Paling banyak napasnya terasa sesak, biasanya permintaannya untuk rujukan ke rumah sakit, butuh ambulans atau butuh oksigen, atau atau butuh baliau bisa bertemu dengan dokter siapa ya yang bisa direkomendasikan untuk konsultasi," ungkapnya.
Indra mengakui pihaknya juga memerlukan waktu untuk menyiapkan semua yang dibutuhkan pasien. Koordinasi antara pihak-pihak lain terus dilakukan dengan harapan pasien dapat segera mendapat penanganan lebih lanjut.
Pihaknya bekerja sama dengan teman-teman Public Safety Center (PSC) yang berada di masing-masing wilayah untuk memastikan. Baik dalam urusan obat dan tindakan yang perlu dilakukan saat itu juga dalam kondisi emergensi.
Baca Juga: Soroti Sense of Crisis, FPRB dan Forkom OMS Desak Pemda DIY Percepat Penanganan Covid-19
"Tapi kan memang linenya juga enggak banyak. Kalau kita di sini itu ada 8 line, itu mesti muni kabeh [pasti berbunyi semua], lalu PSC cuma 2," ucapnya.
Situasi tersebut, kata Indra, akan berbanding terbalik saat waktu masih berada pagi hingga siang hari. Pada waktu-waktu tersebut panggilan yang masuk ke saluran siaga tidak banyak justru cenderung landa.
Walaupun ada telepon yang masuk, itu pun bukan terkait dengan pasien yang kritis atau kondisi emergensi.
Pasien tidak tertolong
Setelah mendapatkan sejumlah telepon di saluran siaga, TRC BPBD DIY pun akan langsung berkoordinasi dengan sejumlah rumah sakit untuk melakukan tindakan lebih lanjut. Jika memang saat itu pasien sudah dalam kondisi kritis atau emergensi.
Namun berdasarkan hasil survei dan asesmen yang telah dilakukan BPBD DIY kepada berbagai rumah sakit menunjukkan kondisi yang hampir serupa. Rumah sakit rujukan Covid-19 sebagai hilir penanganan pasien memiliki kesamaan dari segi ritme atau periode emergensi itu meningkat.
"Kondisi itu juga signifikan dengan ketika kita survei atau asesmen di rumah sakit ternyata penuh semua. Antara jam sore sampai 9 malam itu full. Saya juga heran. Jawaban Dinkes juga belum ada [terkait kondisi ini]," ujarnya.
Kondisi yang menegangkan bukan sekali dua kali saja dialami oleh pihaknya. Dalam artian, pasien yang memang sudah dalam kondisi emergensi tidak dapat segera tertolong hingga akhirnya meninggal dunia.
Menegangkannya, lanjut Indra adalah ketika pihaknya menerima hotline saat pasien sudah mengeluh sesak napas. Sementara kebutuhan ambulans hingga rumah sakit rujukan yang perlu segera didapatkan masih terus diusahakan.
"Sebagai contoh kami menyarankan, anda [pihak keluarga pasien] untuk ke rumah sakit RSA misalnya ada kemungkinan di sana anda bisa ambil antrian. Begitu sampai sana orangnya ambil antrian, oke kami siapkan ambulans. Ambulansnya sudah siap, lalu saat dikonfirmasi kembali [pihak keluarga melaporkan] ngapunten [maaf pasien] sudah meninggal. Itu sering. Cuma selang setengah jam, satu jam setelah telepon," terangnya.
Indra menjelaskan meskipun orang yang menjalani isoman termasuk dalam kondisi kategori sedang. Namun jika tidak segera diikuti dengan penguatan intervensi kesehatan maka bisa dimungkinkan akan semakin memburuk.
Sedangkan kalau sudah dalam kondisi yang masuk kategori buruk atau kritis akan susah untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut. Meningat saat ini fasilitas kesehatan pun penuh dengan pasien lain.
Sore menjelang petang waktu kritis
Dengan serangkaian kejadian yang terus menerus berlangsung dan memiliki kesamaan ritme, Indra dan jawatannya menilai bahwa waktu-waktu yang kritis bagi pasien Covid-19 adalah sore menjelang petang.
Pada saat periode waktu tersebut, tidak sedikit pasien Covid-19 yang tiba-tiba mengalami penurunan kondisi. Demam tinggi hingga sesak napas yang dialami secara mendadak.
"Saya membaca beberapa kejadian pergantian waktu antaranya siang ke malam, sore itu ada perubahan suhu," ucapnya.
Lebih jauh, Indra pun telah mengamati fenomena serupa belajar dari pengalaman ledakan kasus di Kudus, Jawa Tengah yang terjadi sekitar awal Juni 2021 lalu. Saat itu diketahui bahwa sebaran virus Covid-19 yang ada adalah varian Delta.
Indra tidak menampik bahwa berdasarkan pola yang terjadi di wilayahnya dan Kudus tidak jauh berbeda. Bahkan, dikatakan Indra, kejadian tak biasa tersebut hampir berbarengan dengan pemeriksaan sampel Covid-19 milik pasien asal DIY tepatnya awal Juli lalu.
"Kami sebenarnya menganalisisnya kan dari kasus Kudus. Waktu Kudus itu kami komunikasi dengan teman-teman di Jawa Tengah untuk menganalisis kasus per kasus itu kok orang meninggal cepat itu kenapa? Terus proses-proses kematiannya itu pada jam berapa sih? Terus proses-proses penularannya itu seperti apa sih?," ujarnya.
Ternyata hasil analisis itu kata Indra memang cocok dengan kondisi yang terjadi di DIY. Kondisi saat ini berbeda dibandingkan dengan sebaran kasus pada tahun lalu.
"Ternyata mirip-mirip gitu ya. Satu orang bisa menularkan 10-20 orang. Begitu yang kena itu punya komorbid yang berat walaupun pada saat periksa dia didiagnosis ringan mendadak langsung drop. Ya cepat kali dalam waktu sehari dua tiga hari dia turun, kalau tidak segera diintervensi obat yang tepat," jelasnya.
Usulkan rumah sakit khusus infeksius
Mengantisipasi situasi tersebut, TRC BPBD DIY mengusulkan untuk menyediakan fasilitas rumah sakit khusus pasien infeksius. Walaupun hanya bisa terisi 400-500 bed pun kehadiran fasilitas itu akan dinilai sangat membantu penanganan pandemi.
"Sudah usul ke Sekda DIY untuk bikin rumah sakit khusus infeksius walaupun isinya hanya 400-500 bed. Entah itu di Jogja Expo Center [JEC] atau manapun. Sehingga yang tidak bisa terlayani di rumah sakit rujukan bisa digeser ke situ dulu," ucapnya.
Menurutnya bangunan Jogja Expo Center (JEC) dinilai ideal untuk diubah pemanfaatannya sementara untuk rumah sakit darurat. Selain tempat yang luas, lokasinya pun strategis bagi seluruh kabupaten/kota di DIY.
"Dinilai ideal karena tempatnya besar dan berada titik di tengah. Kalau ada luncuran [pasien] dari Gunungkidul dan sebagainya itu enak. Dan situ beberapa akses pendukung masih bisa ditambah. Karena punya halaman yang cukup besar," tandasnya.
Kondisi Tak Biasa, Hotline TRC BPBD DIY Terima Banyak Telepon Emergensi Sore hingga Malam - SuaraJogja.ID
Ngelanjutin Artikel nya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar