Kematian manusia di angkasa luar bisa jadi bukan hal aneh pada masa depan mengingat semakin banyak misi yang sudah dijadwalkan dan wisata antariksa nanti semakin biasa. Kondisi kematian manusia di dunia tanpa gravitasi sangat berbeda dari Bumi, sebab itu penanganannya juga khusus.
Ini berarti manusia mulai memikirkan bagaimana rasanya hidup di sana dan bagaimana kondisi nya jika ditakdirkan mati di angkasa luar.
Ketika manusia mati di bumi, tubuh mengalami beberapa tahap pembusukan. Hal ini sudah diulas dalam buku The Washing Away of Wrongs karya Song Ci pada awal 1274 yang merupakan pegangan ilmu forensik pertama.
Darah pada tubuh perlahan berhenti mengalir dan mulai menggenang akibat gravitasi, proses ini dikenal sebagai livor mortis. Kemudian tubuh menjadi dingin yang disebut tahap algor mortis.
Selanjutnya otot-otot menjadi kaku karena penumpukan kalsium yang tidak terkendali di dalam serat otot, tahap ini disebut sebagai rigor mortis.
Pada saat yang sama bakteri di usus manusia perlahan keluar dan menyebar ke seluruh tubuh. Bakteri melahap jaringan lunak sehingga tubuh membusuk dan gas yang dikeluarkan membuat tubuh membengkak.
Proses penguraian itu adalah faktor intrinsik. Meski demikian ada juga faktor eksternal yang mempengaruhi proses penguraian, di antaranya suhu, aktivitas serangga, mengubur atau membungkus tubuh, dan adanya api atau air.
Lalu, bagaimana kondisi manusia jika mati di angkasa luar?
Kondisi manusia meninggal di angkasa luar
Gravitasi minim atau bahkan tidak sama sekali di luar Bumi pasti berdampak pada tahap livor moritis. Ini dapat menyebabkan darah yang berhenti tersirkulasi tidak diam terkumpul di satu tempat.
Dikutip dari The Next Web, di dalam pakaian astronaut, rigor mortis masih akan terjadi karena merupakan akibat dari berhentinya fungsi tubuh.
Bakteri dari usus masih akan melahap jaringan lunak namun bakteri ini membutuhkan oksigen agar berfungsi dengan baik, sehingga pasokan udara yang terbatas akan memperlambat proses secara signifikan.
Penguraian dalam kondisi yang sangat berbeda dari lingkungan Bumi berarti faktor eksternal akan lebih rumit.
Mikroba dari tanah membantu dekomposisi, sehingga setiap lingkungan planet yang menghambat aksi mikroba, seperti kekeringan ekstrem, meningkatkan kemungkinan pengawetan jaringan lunak.
Dikutip Daily Star, biasanya komponen organik akan terurai, sehingga tulang yang kita lihat di museum sebagian besar adalah sisa-sisa anorganik.
Di Bumi, dekomposisi sisa-sisa manusia merupakan bagian ekosistem yang seimbang di mana nutrisi didaur ulang oleh organisme hidup, seperti serangga, mikroba, dan bahkan tanaman.
Lingkungan seperti di angkasa luar dikatakan tidak bakal berevolusi untuk memanfaatkan tubuh kita dengan cara yang sama efisiennya. Serangga dan hewan pemulung tidak ada di planet lain dalam sistem kita.
Kondisi Mars yang kering seperti gurun mungkin berarti bahwa jaringan lunak akan mengering, dan mungkin sedimen yang tertiup angin akan mengikis dan merusak tulang seperti yang kita lihat di Bumi.
Suhu juga merupakan faktor kunci dalam dekomposisi. Di Bulan misalnya, suhu bisa berkisar 120 derajat Celsius hingga -170 derajat Celsius.
Oleh karena itu tubuh dapat menunjukkan tanda-tanda perubahan yang disebabkan panas atau kerusakan akibat pembekuan.
Jika jasad manusia berada di dekat bintang atau sumber panas lainnya, jasad tersebut akan perlahan mengering dan akan menjadi mumi secara efektif.
Apabila jasad berada dalam bayang-bayang asteroid atau benda dingin lainnya, maka ia akan membeku saat panas perlahan meninggalkan tubuh.
Bagaimanapun, jika tidak ada tabrakan dengan puing-puing ruang angkasa lainnya, jasad akan bertahan hampir tanpa batas, melayang dalam kegelapan ruang angkasa yang tak terbatas selama ratusan juta tahun.
Pemakaman di Angkasa Luar
BACA HALAMAN BERIKUTNYAKondisi Manusia Mati di Angkasa Luar, Pemakamannya Tak Biasa - CNN Indonesia
Ngelanjutin Artikel nya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar