Rechercher dans ce blog

Kamis, 24 Februari 2022

Saat Kita Sudah Biasa dengan Kisah Perselingkuhan - detikNews

Jakarta -

Sepuluh tahun silam, seorang sahabat dekat berkisah bahwa suaminya berhubungan dengan perempuan lain. Bukan hanya berhubungan sebagai teman dekat, melainkan lebih dari sekadar teman. Padahal tanggal pernikahan mereka sudah dekat.

Sebagai kawan kuliah mereka, tentu saja saya terkejut. Selama saya mengenal calon suaminya, dia adalah laki-laki yang baik dan tampak tidak neko-neko. Melihat sahabat saya terpuruk sedih, saat itu, saya tidak tahu apa yang harus saya katakan. Selain saya masih single, saya tidak memiliki pengalaman apa pun berkaitan dengan pengkhianatan cinta atau dunia perselingkuhan.

Saya hanya berusaha menguatkan sahabat saya yang yakin bahwa calon suaminya tidak seperti itu, dia lelaki yang baik. Sampai di situ saya juga mencoba berpikiran sama. Melihat situasi sekarang, kembali mengingatkan emosi saya kala itu. Tentu saja saya ikut marah dan menyalahkan calon suami sahabat saya itu. Akhirnya saya mencoba menggali informasi lebih dalam hingga beberapa waktu kemudian terbukti bahwa calon suaminya itu tidak sepenuhnya bersalah. Di tengah-tengah dia bertugas kerja di kota lain, dia berkenalan dengan seorang perempuan. Tanpa disangka perempuan ini tertarik kepadanya dan mencoba mendekati calon suami sahabat saya itu. Akhirnya terjadilah hubungan yang lebih dari sekadar teman.

Apa yang terjadi setelah peristiwa itu? Sahabat saya memaafkan calon suaminya dan mereka pun menikah. Perkawinan mereka awet hingga saat ini. Waktu itu calon suaminya memutuskan untuk kembali kepada sahabat saya dan melepas hubungan dengan perempuan itu.

Apakah saya puas dengan keputusannya? Jujur saja saya merasa dia telah membuat keputusan yang salah dengan menerima dan memaafkan calon suaminya. Bagi saya, laki-laki itu telah membuat kesalahan besar.

Namun, seiring perjalanan waktu, kini saya berpikir bahwa keputusan sahabat saya itu bisa jadi bukan keputusan yang salah. Sudah sepuluh tahun berlalu, saya baru meyakini bahwa banyak sekali hal yang mampu mempengaruhi hati seseorang.

Berpalingnya rasa cinta kita dari seseorang ke orang lain ternyata sesungguhnya tidak perlu disembunyikan.

Saya pernah bertemu dengan seorang rekan kerja dari instansi lain yang datang dalam rangka menyelesaikan suatu urusan. Ia diantar oleh seorang pria dengan seragam dinas yang sama. Setelah itu baru saya ketahui bahwa mereka berselingkuh. Mereka berdua masing-masing sudah menikah. Pembicaraan tentang perselingkuhan mereka berseliweran di mana-mana. Memang tidak mengherankan karena mereka menampakkan kemesraan di depan orang banyak.

Perselingkuhan di tempat kerja tampaknya bukan lagi sesuatu yang mengejutkan. Apakah ini imbas dari masifnya "promo selingkuh" yang sering kita jumpai dalam kisah-kisah fiksi seperti novel web atau dari dunia hiburan? Yang jelas, pengakuan orang-orang di sekitar saya bahwa mereka berselingkuh atau memiliki hubungan khusus di luar pasangan mereka, semakin banyak saya temui.

Renggangnya Pernikahan

Gaya hidup baru yang memunculkan jenis-jenis keviralan absurd di media sosial semakin menerabas batas privasi kehidupan siapa pun. Media curhat seputar pernikahan, konflik rumah tangga hingga perselingkuhan begitu mudah ditemui. Dan dengan terang-terangan si pembuat status meminta masukan dari berbagai kalangan di media sosial.

Tentu saja, kisah-kisah semacam ini mudah menghasilkan reaksi dan respons yang sangat emosional. Dan kisah semacam ini begitu laku di pasaran. Banyak dari pembuat status bahkan menjadikan sebagai inspirasi novel hingga diangkat menjadi sebuah serial seperti "Layangan Putus". Mengapa kisah perselingkuhan menjadi begitu menarik masyarakat kita? Apakah perselingkuhan ini memiliki daya tarik sensualisme dalam cerita yang bisa sangat mudah menarik empati sekaligus kehausan penonton untuk meluapkan emosinya?

Tentu saja banyak faktornya. Saya masih ingat video viral tentang seorang istri melemparkan lembaran uang seratus-ribuan sejumlah jutaan kepada perempuan yang dianggap merebut suaminya. Video yang menurut saya entah tujuannya apa itu berhasil membangkitkan hasrat masyarakat kita untuk menonton dan ikut menyumpah-nyumpahi si pelakor (perebut laki orang). Apakah itu bisa memuaskan si pembuat konten? Atau malah justru semakin menularkan ide-ide pembuatan konten serupa dengan mengaitkan isu perselingkuhan?

Namun, setidaknya yang paling saya rasakan adalah semakin terbukanya orang-orang dalam bercerita seputar rahasia rumah tangga mereka hingga perilaku pasangan yang mengindikasikan selingkuh. Kisah-kisah begini sudah begitu sering saya dengar.

Ada yang lebih mencengangkan lagi yaitu hasil survei yang dilakukan oleh JustDating menemukan bahwa 40% pasangan di Indonesia pernah berselingkuh. Tak tanggung-tanggung, data itu mengantarkan Indonesia pada posisi kedua se-Asia sebagai negara dengan peringkat perselingkuhan tertinggi.

Meskipun saya masih bertanya-tanya tentang metode survei yang dilakukan oleh aplikasi pemberi akses untuk berkencan itu, hasil surveinya mau tak mau mendorong beberapa pihak untuk menyikapi dengan berbagai cara. Tentu saja bukan hanya dijadikan lelucon garing yang tak memberi efek apa-apa, bahkan justru mengglorifikasikan perselingkuhan sebagai isu seksis yang renyah di telinga.

Semakin terbukanya ruang privat dalam ranah publik yaitu media sosial, semakin menunjukkan betapa kita rapuh di hadapan komitmen pernikahan. Mudahnya seseorang berpaling hati hingga melakukan perselingkuhan menunjukkan bahwa kesakralan pernikahan dipertanyakan. Pernikahan hanya dianggap sebagai sebuah formalitas, upacara yang tidak memiliki roh. Karena toh ketika terjadi permasalahan rumah tangga, masing-masing pasangan memuntahkan segala unek-uneknya melalui media sosial.

Menyelamatkan Hati

Menata hati untuk tetap bisa terhindar dari hasrat mem-posting atau menunjukkan kepada publik tentang keretakan hubungan rumah tangga bisa jadi hal yang cukup sulit saat ini. Akses yang begitu mudah memberikan jalan kepada siapa saja untuk mem-posting emosi hingga menunjukkan hal yang sangat privat di media sosial.

Tetapi, menahan diri masih menjadi sebuah keputusan yang paling bijak sebelum hal-hal yang menerabas kehidupan privasi diketahui banyak orang, digunjingkan hingga bisa menjadi bahan pembicaraan yang justru merendahkan harga diri siapa pun.

Menyelamatkan hati yang retak dan mulai hancur dapat dimulai dengan bercerita kepada satu orang yang dapat dipercaya. Maka, memiliki lingkaran pergaulan yang suportif perlu dibangun semenjak awal, bahkan sebelum kehidupan fase pernikahan dimulai. Pergaulan yang baik, dengan orang-orang baik yang memiliki pemikiran dewasa mampu memulihkan hati yang retak. Meskipun tak sepenuhnya pulih, setidaknya memiliki orang-orang yang mampu menampung kisah tanpa perlu menghakimi adalah sebuah keuntungan yang patut disyukuri.

Bagaimana jika lingkungan suportif ini tidak didapatkan? Apakah mencurahkan permasalahan di media sosial bisa menjadi solusi? Tentu saja mencurahkan permasalahan di media sosial bisa menjadi pilihan selama benar-benar mampu menyaring kata dengan baik. Redaksi narasinya dibuat secara aman, tanpa mendiskreditkan pihak lain, tidak mengundang reaksi provokasi, jujur meminta solusi.

Sebenarnya, dengan akses yang begitu luas di internet, kita bisa memilih beberapa komunitas yang sangat mendukung saat kita menemui jalan buntu untuk mencurahkan permasalahan yang begitu privat. Lebih baik juga melalui konsultasi psikolog (bukan psikiater).

Menyingkirkan Egoisme

Menahan diri dari mem-posting berbagai ragam kisah perselingkuhan di media sosial sesungguhnya upaya menyingkirkan egoisme diri. Mencurahkan kisah dan meluapkan emosi demi mendapatkan banyak dukungan hingga komentar bermuatan emosional merupakan bentuk egoisme yang hampir tidak memberikan efek positif berupa penyelesaian masalah. Konten yang dibuat memancing berbagai respons dengan ujaran emosional sesungguhnya hampir tidak memberikan dampak apa-apa terutama pada penyelesaian atau resolusi dari permasalahan yang dihadapi.

Mengembalikan pikiran rasional harus menjadi pilihan utama sebelum melakukan tindakan gegabah. Merasionalkan problem perselingkuhan atau indikasi perselingkuhan sesungguhnya tidak perlu melibatkan banyak pihak. Kita harus berpikir positif dengan hasil yang berakhir baik tanpa meninggalkan cerita buruknya sebagai jejak panjang. Selesaikan permasalahan dengan berbicara bersama pasangan. Menemukan alasan di balik perilaku perselingkuhan bisa dilakukan dengan berbicara antara dua belah pihak. Bicarakan dan selesaikan meski akan sama-sama terluka.

Perselingkuhan atau berpalingnya hati pada sebagian orang adalah hal yang menyakitkan. Akan tetapi, memberi ruang pada rasionalisme untuk menyelesaikan masalah memperkecil dampak buruk dari akibat perilaku tersebut.

Dengan mengembalikan pemikiran rasional akan menghindarkan diri dari perilaku mem-posting dan mencurahkan hati secara serampangan ke ruang publik yang tanpa disadari memberi dampak buruk. Salah satunya mendorong atau menularkan pada orang lain untuk melakukan hal yang sama.

Semakin banyak kisah atau cerita tentang perselingkuhan di media sosial yang diceritakan seolah-olah nyata, karena kebenarannya pun tak dapat dianggap valid, sebab kita tak benar-benar tahu seberapa besar kisah itu diceritakan secara objektif. Dengan dramatisasi tertentu, semakin mendorong anggapan bahwa perselingkuhan begitu lazim terjadi.

Dengan kelaziman ini justru tak memberikan efek jera, tidak memberikan sanksi sosial apa pun bagi pelaku perselingkuhan. Perdebatan yang saya lihat hanya seolah-olah gimmick semata, menggiring pada pendapat-pendapat yang semakin antimainstream, Perselingkuhan kemudian bukan hal tabu lagi dibicarakan hingga anjuran-anjuran untuk memiliki pasangan di luar pernikahan.

Seperti yang juga semakin banyak saya jumpai: pasangan selingkuh dengan sangat tenang menampilkan hubungan mereka di depan publik. Mereka menganggap tak ada yang salah, toh dua-duanya suka, toh pasangan mereka bisa jadi tak ada masalah. Dan, toh masing-masing akan bercerai dan mereka bersatu dengan pernikahan. Akhirnya kita akan semakin biasa menanggapi kisah-kisah perselingkuhan di media sosial dengan komentar yang beragam tanpa menutup kemungkinan beranggapan bahwa selingkuh "enggak apa-apa, kan?" Lagi pula itu hidup mereka yang tampak bahagia dengan jalan perselingkuhan. Kalau sudah begini, maaf, upacara pernikahan tak perlu dianggap sakral lagi.

Hanifatul Hijriati guru di SMA N 1 Gemolong, Sragen
Juara 1 Lomba Menulis Artikel "Ketika Hati Berpaling" yang diselenggarakan Komunitas Rasa(N)Yuk!

(mmu/mmu)

Adblock test (Why?)


Saat Kita Sudah Biasa dengan Kisah Perselingkuhan - detikNews
Ngelanjutin Artikel nya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Panwasrah: PON beri dampak ekonomi yang luar biasa untuk tuan rumah - ANTARA

[unable to retrieve full-text content] Panwasrah: PON beri dampak ekonomi yang luar biasa untuk tuan rumah    ANTARA Panwasrah: PON beri d...