ANTARIKSA -- Mars pernah menjadi merah karena sungai. Jejak jejak sungai, aliran, dan danau masa lalu masih terlihat hari ini di seluruh permukaan planet. Tetapi sekitar tiga miliar tahun yang lalu, semuanya mengering, dan tidak ada yang tahu mengapa itu terjadi.
"Orang-orang telah mengajukan ide yang berbeda, tetapi kami tidak yakin apa yang menyebabkan iklim berubah begitu dramatis," kata ilmuwan geofisika Universitas Chicago, Edwin Kite seperti dilansir Phys.org, Kamis, 26 Mei 2022.
"Kami begitu ingin memahaminya, terutama karena itu satu-satunya planet yang kita tahu pasti berubah dari layak huni menjadi tidak dapat dihuni."
Scroll untuk membaca
Scroll untuk membaca
Kite adalah penulis pertama dari studi baru yang meneliti jejak sungai di Mars. Mereka ingin mengungkap tentang sejarah air dan atmosfer planet merah.
Sebelumnya, banyak ilmuwan berasumsi bahwa penyebab air itu hilang karena Mars kehilangan karbon dioksida dari atmosfernya. Karbon dioksida itu selama ini membantu Mars cukup hangat untuk mempertahankan air. Tetapi temuan baru, yang diterbitkan Rabu, 25 Mei 2022 di Science Advances, menunjukkan perubahan itu disebabkan oleh hilangnya beberapa bahan penting lainnya yang menjaga planet ini cukup hangat untuk mengalirkan air. Tapi kita masih belum tahu apa itu.
Pada tahun 1972, para ilmuwan tercengang melihat gambar dari misi Mariner 9 NASA saat mengitari Mars dari orbit. Foto-foto tersebut mengungkapkan lanskap yang penuh dengan dasar sungai, bukti bahwa planet ini pernah memiliki banyak air cair, meskipun saat ini kering seperti tulang.
Mars tidak memiliki lempeng tektonik yang bisa bergeser dan mengubur batu dari waktu ke waktu. Kerena itu, jejak sungai kuno masih terbentang di permukaan seperti sebuah barang bukti yang ditinggalkan dengan tergesa-gesa.
Keberadaan jejak itu memungkinkan Kite dan kolaboratornya, termasuk mahasiswa pascasarjana Universitas Chicago, Bowen Fan serta ilmuwan dari Smithsonian Institution, Planetary Science Institute, California Institute of Technology Jet Propulsion Laboratory, dan Aeolis Research, menganalisis peta berdasarkan ribuan gambar yang diambil satelit dari orbit. Tim itu menyusun kembali garis waktu bagaimana aktivitas sungai berubah dalam ketinggian dan garis lintang selama miliaran tahun. Garis itu kemudian digabungkan dengan simulasi kondisi iklim yang berbeda, dan melihat mana yang paling cocok.
Iklim planet sangat kompleks, dengan banyak variabel yang harus diperhitungkan, terutama jika ingin menjaga planet tetap berada di zona 'Goldilocks' yang cukup hangat untuk air cair, tetapi tidak terlalu panas hingga mendidih. Panas dapat berasal dari matahari, tetapi harus cukup dekat untuk menerima radiasi, tetapi tidak terlalu dekat sampai radiasi menghilangkan atmosfer. Gas rumah kaca, seperti karbon dioksida dan metana, dapat menjebak panas di dekat permukaan planet.
Air itu sendiri juga berperan, yaitu sebagai awan di atmosfer atau sebagai salju dan es di permukaan. Salju cenderung bertindak sebagai cermin untuk memantulkan sinar matahari kembali ke luar angkasa, tetapi awan dapat menjebak atau memantulkan cahaya, tergantung pada ketinggian dan komposisinya.
Kite dan rekan-rekannya mencoba banyak kombinasi yang berbeda dari faktor-faktor tersebut dalam simulasi penelitian. Mereka mencari kondisi yang tepat, yaitu dapat menyebabkan Mars cukup hangat untuk setidaknya beberapa air cair yang ada di sungai bertahan selama lebih dari miliar tahun, tetapi kemudian tiba-tiba hilang.
Tetapi ketika mereka membandingkan simulasi yang berbeda, mereka melihat sesuatu yang mengejutkan, yaitu mengubah jumlah karbon dioksida di atmosfer tidak mempengaruhi hasilnya. Artinya, kekuatan pendorong perubahan tampaknya bukan karena karbon dioksida seperti asumsi para ilmuwan selama ini.
"Karbon dioksida adalah gas rumah kaca yang kuat, jadi itu benar-benar kandidat utama untuk menjelaskan pengeringan Mars," kata Kite. "Tetapi hasil ini menunjukkan bahwa pengeringan (Mars) tidak sesederhana itu."
Ada beberapa alternatif pilihan. Bukti baru ini cocok dengan skenario, yang disarankan dalam studi tahun 2021 dari Kite, di mana lapisan tipis awan es yang tinggi di atmosfer Mars bertindak seperti kaca rumah kaca tembus pandang, yang memerangkap panas. Ilmuwan lain telah menyarankan jika hidrogen dilepaskan dari interior planet, itu bisa berinteraksi dengan karbon dioksida di atmosfer untuk menyerap cahaya inframerah dan menghangatkan planet.
"Kami tidak tahu apa faktor ini, tetapi kami membutuhkan banyak faktor untuk menjelaskan hasilnya," kata Kite.
Ada sejumlah cara untuk mencoba mempersempit faktor-faktor yang mungkin terjadi. Tim menyarankan beberapa tes yang melibatkan penjelajah Perseverance NASA. Robot yang berkeliaran di Mars itu bisa melakukan sesuatu yang dapat mengungkapkan petunjuk.
Kite dan rekannya, Sasha Warren juga merupakan bagian dari tim sains yang akan mengarahkan penjelajah Mars yang lain, Curiosity NASA untuk mencari petunjuk tentang mengapa Mars mengering. Mereka berharap upaya ini, serta pengukuran dari Perseverance, dapat memberikan petunjuk tambahan untuk teka-teki itu.
Di Bumi, banyak kekuatan telah bergabung untuk menjaga kondisi planet ini menjadi sangat stabil selama jutaan tahun. Tapi planet lain mungkin tidak seberuntung Bumi kita tercinta. Salah satu dari banyak pertanyaan yang diajukan para ilmuwan adalah seberapa banyak planet yang seberuntung Bumi di alam semesta ini.
Mereka berharap mempelajari apa yang terjadi pada planet lain, seperti Mars, dapat menghasilkan petunjuk tentang iklim dan berapa banyak planet lain di luar sana yang dapat dihuni. "Sangat mengejutkan bahwa kami memiliki teka-teki ini di sisi lain, namun kami masih belum yakin bagaimana menjelaskannya," kata Kite.
Sumber: Phys.org
Mengapa Mars Mengering? Studi Baru Menunjukkan Jawaban yang tidak Biasa - Republika
Ngelanjutin Artikel nya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar